Ditanya soal dana.MUI diam seribu bahasa,Halalkah dana MUI?

18.23.00

BlogDetik86 – Tuntutan Komisi Informasi Pusat (KIP) terhadap Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk membuka laporan keuangannya, terutama dalam hal sertifikasi halal ke hadapan publik kembali mencuat.
Pemasukan yang diperoleh MUI, terutama dari Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia atau LPPOM melalui sertifikasi halal, sering menjadi sorotan publik, terutama karena jumlah penerimaan yang tak pernah jelas.
Padahal keterbukaan tentang pengelolaan dana oleh MUI termasuk dari sertifikasi halal harus dibuka ke publik mengingat posisi MUI sebagai badan publik non pemerintah yang menerima APBN, APBD, dan sumbangan masyarakat, baik dari dalam maupun luar negeri.
“Jika ia badan publik maka harus patuh pada ketentuan UU KIP, yang antara lain wajib menginformasikan program-program dan laporan keuangannya ke publik, serta mengelola lembaga dengan tatakelola yang baik yaitu transparan, efektif, efisien, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan,” kata Ketua Komisi Informasi Pusat Abdulhamid melalui pesan singkat kepada Tribunnews, Senin (28/3/2016).
Selama ini yang dianggap badan publik hanya pemerintah yang terdiri eksekutif, legislatif, dan yudikatif saja. Padahal, menurut Abdulhamid, banyak uang mengalir ke lembaga nonpemerintah baik lewat APBN, APBD, dana masyarakat, atau luar negeri.
“Dana dari pemerintah tidak saja didapat langsung dari APBN tapi juga program-program dari beberapa kementerian. Sedangkan dana masyarakat didapatkannya dari biaya sertifikasi halal yang kini merambah bukan saja untuk produk makanan, minuman, dan kosmetika, tetapi juga semua barang dan jasa,” kata Abdulhamid.
Adapun kewajiban bagi badan publik non-negara seperti MUI untuk membuka data pengelolaan keuangannya sudah diatur dalam UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Abdulhamid menambahkan badan publik juga tidak boleh menunggu diminta informasinya tapi harus proaktif mengumumkannya ke masyarakat.
Sejauh ini, kata Abdulhamid, pihaknya menilai MUI tidak pernah mengumumkan program-program dan laporan keuangannya secara periodik ke masyarakat.
Kondisi keuangan MUI, baik uang masuk dan keluarnya, tidak pernah diketahui publik. Sehingga wajar jika akhir-akhir ini sangat ramai dipertanyakan masyarakat ketika MUI akan merambah sertifikasi dalam bidang yang lebih luas.
“Di website MUI hal itu juga tidak ditemukan. Keterbukaan informasi dari MUI semakin penting karena sudah menyatakan ingin menyertifikasi semua sektor kehidupan manusia, tidak saja makanan, minuman, kosmetika, obat-obatan, tetapi juga barang dan jasa termasuk pakaian dan sepatu,” imbuhnya.
Sedangkan untuk melakukan sertifikasi, kata Abdulhamid, MUI selama ini memungut dana dari produsen barang dan restoran sebagai obyek. Jika makin banyak obyek yang disertifikasi maka akan semakin banyak pula uang masuk ke MUI.
“Uang yang masuk tersebut harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Sebab biaya yang dikeluarkan oleh pihak yang disertifikasi pada akhirnya akan dibebankan kepada masyarakat sebagai konsumen,” tuturnya.
Ia meminta masyarakat harus mulai kritis dan berani mempertanyakan keuangan lembaga-lembaga nonpemerintah seperti MUI dan lainnya.
“Masyarakat harus berani meminta informasi ke mereka dan jika tidak dilayani dengan baik bisa mengadukannya ke KIP untuk disidang,” imbuhnya.
Akan tetapi komisioner Komisi Informasi Pusat, Henny S Widyaningsih, mengakui lembaganya tak bisa memaksa MUI, atau lembaga publik nonpemerintah lain — seperti partai politik atau PSSI — agar membuka data mereka.
“Ini delik aduan, jadi sebelum ada pemohon, kami tidak bisa meminta. Kita review (informasinya), dan menyatakan ini informasi terbuka atau tertutup. Kalau informasi terbuka, wajib memberikan dia, tapi kalau sudah diputus oleh Komisi Informasi (informasi terbuka) dan tidak diberikan, itu bisa banding ke PTUN atau PN,” kata Henny.
Jika kasus banding atas permintaan informasi tersebut berlanjut sampai ke Mahkamah Agung, maka badan yang tak mau membuka informasi publik tersebut terancam dijatuhi hukuman satu tahun penjara atau denda ganti rugi Rp 5 juta untuk satu informasi yang tidak diberikan.
Sementara itu ditemui terpisah, Wakil Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi MUI, Ibnu Hamad, memilih mengelak ketika ditanya tentang besaran dana yang diperoleh dan dikelola oleh MUI dari sertifikasi halal.
“Mohon maaf saya tidak bisa menyampaikan informasinya. Saya belum bisa menyampaikan karena belum menguasai informasinya,” kata Ibnu.
Begitu pula saat ditanya tentang jumlah yang harus dibayar oleh pemohon sertifikasi halal, Ibnu mengatakan hal yang sama.
Namun, menurut Aisha Maharani, biaya yang dibutuhkan rata-rata adalah Rp 3 juta untuk sertifikat yang berlaku selama dua tahun bagi usaha kecil dan menengah.
Aisha adalah konsultan sertifikasi halal dan pelatihan yang diperbantukan guna membantu usaha kecil dan menengah di bidang makanan dalam mengajukan sertifikasi halal ke Lembaga Pengkajian Pangan, Kosmetika, Obat-obatan, dan Makanan MUI.
“Tiga juta (rupiah) dibagi 24 bulan, per bulannya untuk dana legalisasi halal, seratus ribuan (rupiah) ya. Dan otomatis, begitu dapat sertifikasi halal, keuntungan langsung naik,” kata Aisha seperti dikutip BBC.
Dari pengalaman Aisha menjadi konsultan sertifikasi halal sejak 2013, prosedur keluarnya sertifikat bisa antara satu bulan, paling cepat, hingga lebih dari tiga bulan.
Lalu, apakah MUI siap membuka data, termasuk soal pemasukan dari sertifikasi halal, kepada publik?

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »